Hai, namaku Hujan. Aku rasa banyak orang yang menyukaiku, walau tak sedikit juga yang sering memakiku di dalam hati atau terang-terangan. Mereka yang menyukaiku biasanya bersikap manis ketika aku datang. Beberapa menyesap kopi di balik jendela berkusen putih sambil memandangiku penuh khidmat. Yang lainnya berciuman di bawah deraiku seperti di drama-drama korea favorit mereka. Konyol!
Tentu saja aku senang disukai. Walaupun terkadang sebal juga. Bayangkan saja, pemujaku menganggap aku sebagai simbol pengharapan, simbol romantisme picisan, bahkan simbol kesempurnaan Tuhan... tapi mereka menutup sebelah mata dangan wujud aku yang lain. Mereka menyukaiku karena imajinasi yang mereka ciptakan sendiri tentang aku. Padahal jika mereka mau sedikit saja lebih dalam mengenalku, mereka akan menemukan arti aku yang sebenarnya.
Well, bukan salah mereka juga sebenarnya menyukai atau jatuh cinta dengan alunan rintik yang aku dentingkan. Toh aku juga tak terang-terangan menunjukan siapa aku sebenarnya. Hanya beberapa yang mengerti aku bisa menjadi badai yang memporak-porakan segalanya bahkan diriku sendiri. Atau menjadi salju yang membuat buku-buku jari siapapun yang menyentuhku perih dan memutih. Jadi ketika orang-orang menyukaiku tanpa menyadari ada aku yang lain, aku tak bahagia sama sekali. Sebaliknya, aku sedih dan menyalahkan diriku sendiri. Aku merasa seperti... telah memanipulasi mereka. Karena itulah, terkadang aku membenci pantulan diriku yang aku lihat di genangan air sisa aku menari semalaman.
Suatu hari aku turun di bukit langganan. Jujur saja, tak ada yang menarik dengan bukit itu selain gubuk reot yang dihuni sepasang suami istri yang beranjak renta. Sudah menjadi tugas rutinkulah mengairi ladang mereka. Namun malam di penghujung bulan November itu berbeda. Angin membawaku sedikit ke utara dan mempertemukanku dengan sebatang Pohon Akasia muda. Ia banyak bercerita kepadaku tentang apa saja. Tentang masa lalu, pengalaman-pengalaman lucu, juga mimpinya untuk bebas menjajal dunia tanpa akar yang membatasi geraknya.
Segera saja kami merasa saling menemukan kenyamanan. Dalam waktu yang singkat ia membuatku merasa kami pernah sangat dekat di kehidupan sebelumnya. Pohon Akasia berkali-kali meyakinkanku tentang rasa yang ia genggam. Ia gemerisikkan daun-daunnya hingga berisik dan aku terusik. Bukannya aku tak percaya bahwa dia menyukai kilau bulir-bulir airku yang meresap di akar dan jatuh di daun-daunnya. Hanya saja, entah mengapa aku tak ingin mempercayai diriku sendiri.
Dengan susah payah tembok penyangkalan itu aku bangun tinggi-tinggi. Namun, entah di pertemuan ke berapa, Pohon Akasia meruntuhkan tembok itu hanya dengan satu jentikan jari. Ia mengajakku menari, bersenang-senang dengan rintikku sendiri. Ia menciptakan senandung kepedihan yang berbaur dengan tabuhan denyut nadi. Bebas! Basah!
Sayangnya kabersamaan kami tak berlangsung lama. Aku harus pergi mengikuti arah angin yang membawaku ke tempat-tempat asing untuk waktu yang cukup lama. Perpisahan itu tak dapat dihindari lagi. Janji-janji terikrar di antara khusyuk harapan akan pertemuan kembali.
Jarak yang membentang membuatku ketakutan. Kembali ku bangun tembok tinggi-tinggi. Daun-daun Pohon Akasia sesekali terbang bersama angin menghampiriku. Menanyakan rasa yang masih tertinggal padaku. Menyatakan rasa setelah kepergianku. Ku katakan padanya bahwa aku bahagia dan baik-baik saja. Tak lagi aku tinggal dalam kenangan bersamanya. Bahwa angin telah menepatkanku di belantara yang sempurna.
Tiba-tiba saja aku menjadi pembohong ulung. Bersandiwara seperti rahib suci yang bijaksana untuk menutupi perih akan perpisahan yang aku rasa. Aku terlalu angkuh untuk mengakui bahwa janji yang aku ikrar pada sang Akasia tetap ku peluk erat. Aku menjaga, menimang dan membiarkan janji itu bertumbuh tanpa Pohon Akasia tahu.
Lagi pula untuk apa ia tahu? Toh janjinya padaku sudah lama berguguran di musim ketiga. Aku tak ingin terlihat bahwa hanya aku yang berharap ada pertemuan kembali di ujung senja. Gengsi? Tidak juga. Aku hanya takut pada akhirnya hanya aku yang terluka. Aku hanya ingin berusaha waras ketika ingatan tentang Pohon Akasia makin menampakkan imaji-imaji gila. Aku hanya ingin mengandalkan keberuntungan, kemana arah angin akan meniupku selanjutnya.
Namun sepertinya tempatku sekarang sudah jelas. Asa dan mimpi tentang Pohon Akasia harus aku luruhkan sampai habis melalui butir-butir airku. Karena pertemuan di ujung itu tidak ada... karena Pohon Akasia sebentar lagi menjadi kayu gelondongan yang mungkin akan menghuni salah satu rumah di kota sebagai tempat tidur king size atau sofa beledu cokelat muda.
Aku tak tahu harus bersedih, atau malah turut bahagia.
Dunningen, 29 November 2014
Sayangnya kabersamaan kami tak berlangsung lama. Aku harus pergi mengikuti arah angin yang membawaku ke tempat-tempat asing untuk waktu yang cukup lama. Perpisahan itu tak dapat dihindari lagi. Janji-janji terikrar di antara khusyuk harapan akan pertemuan kembali.
Jarak yang membentang membuatku ketakutan. Kembali ku bangun tembok tinggi-tinggi. Daun-daun Pohon Akasia sesekali terbang bersama angin menghampiriku. Menanyakan rasa yang masih tertinggal padaku. Menyatakan rasa setelah kepergianku. Ku katakan padanya bahwa aku bahagia dan baik-baik saja. Tak lagi aku tinggal dalam kenangan bersamanya. Bahwa angin telah menepatkanku di belantara yang sempurna.
Tiba-tiba saja aku menjadi pembohong ulung. Bersandiwara seperti rahib suci yang bijaksana untuk menutupi perih akan perpisahan yang aku rasa. Aku terlalu angkuh untuk mengakui bahwa janji yang aku ikrar pada sang Akasia tetap ku peluk erat. Aku menjaga, menimang dan membiarkan janji itu bertumbuh tanpa Pohon Akasia tahu.
Lagi pula untuk apa ia tahu? Toh janjinya padaku sudah lama berguguran di musim ketiga. Aku tak ingin terlihat bahwa hanya aku yang berharap ada pertemuan kembali di ujung senja. Gengsi? Tidak juga. Aku hanya takut pada akhirnya hanya aku yang terluka. Aku hanya ingin berusaha waras ketika ingatan tentang Pohon Akasia makin menampakkan imaji-imaji gila. Aku hanya ingin mengandalkan keberuntungan, kemana arah angin akan meniupku selanjutnya.
Namun sepertinya tempatku sekarang sudah jelas. Asa dan mimpi tentang Pohon Akasia harus aku luruhkan sampai habis melalui butir-butir airku. Karena pertemuan di ujung itu tidak ada... karena Pohon Akasia sebentar lagi menjadi kayu gelondongan yang mungkin akan menghuni salah satu rumah di kota sebagai tempat tidur king size atau sofa beledu cokelat muda.
Aku tak tahu harus bersedih, atau malah turut bahagia.
Dunningen, 29 November 2014